Belajar dari Bencana Banjir Bandang di Sumatra


Palangka Raya, Newsinkalteng.co.id - Bencana banjir bandang yang kembali melanda wilayah Sumatra menjadi pengingat keras bahwa kerusakan hutan bukan hanya soal hilangnya tutupan pohon, tetapi juga hilangnya perlindungan bagi kehidupan manusia. Indonesia tidak kekurangan regulasi, program, ataupun strategi penyelamatan lingkungan—namun tanpa pengawal lapangan yang kuat, semua kebijakan itu akan runtuh.

Di sinilah Polisi Kehutanan (Polhut) memegang peran fundamental: sebagai pelindung terakhir hutan Indonesia sekaligus garda terdepan dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030 dan penurunan emisi deforestasi melalui REDD+.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan ambisi besar melalui program Forest and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030, yaitu komitmen agar sektor kehutanan mampu menyerap lebih banyak emisi daripada yang dilepas. Namun, target ini akan sulit diwujudkan apabila kawasan hutan masih terus menghadapi ancaman perambahan, pembalakan liar, dan pembakaran lahan.

Dengan kewenangan kepolisian khusus di bidang kehutanan, Polhut merupakan pasukan paling strategis dalam menahan laju degradasi hutan.Setiap patroli yang mereka lakukan, setiap titik api yang berhasil dicegah, dan setiap kawasan yang tetap terjaga—menjadi kontribusi langsung bagi stabilitas karbon nasional.

Tanpa pengamanan hutan yang kuat, FOLU Net Sink 2030 hanya akan menjadi slogan, bukan pencapaian. Program REDD+ dirancang untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun deforestasi tidak selalu terjadi karena faktor ekonomi; sering kali muncul dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Di titik inilah Polhut menjadi perisai negara.

Melalui operasi lapangan, investigasi, penyidikan, serta penegakan hukum, Polhut memastikan kawasan konservasi, hutan produksi, hingga ekosistem penting seperti mangrove dan gambut tetap terlindungi. Hilangnya tutupan hutan tidak hanya memicu emisi karbon, tetapi juga merusak tata air dan meningkatkan risiko bencana ekologis.

Dalam konteks ini, Polhut bukan sekadar “penjaga hutan”—mereka adalah penjaga kestabilan lingkungan nasional.

Banjir bandang di Sumatra menunjukkan betapa rapuhnya daerah aliran sungai ketika hutan penyangga rusak. Akar pohon yang hilang membuat tanah mudah longsor, air hujan tidak terserap dengan baik, dan sungai meluap tanpa kendali.

Tragedi seperti ini bukan hanya bencana ekologis, tetapi juga bencana kemanusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hutan bukan pilihan—tetapi kebutuhan mendesak.

Polhut berada di garis terdepan untuk mencegah bencana serupa. Namun mereka tidak dapat bekerja sendiri. Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat jumlah personel, anggaran, teknologi patroli, serta dukungan hukum agar tugas Polhut dapat berjalan maksimal. Tanpa dukungan yang memadai, keselamatan jutaan warga di daerah rawan bencana akan selalu terancam.

Pengawasan dan pemantauan kawasan hutan harus ditingkatkan. Pendidikan masyarakat tidak boleh setengah hati. Peran Polhut tidak hanya sebatas patroli, namun juga sebagai penyuluh lapangan, memberikan pemahaman kepada masyarakat, menyosialisasikan aturan, serta menjelaskan fungsi kawasan hutan. Tidak boleh ada toleransi bagi pembalakan liar, tambang ilegal, dan pembukaan lahan ilegal demi kepentingan pribadi maupun kelompok.

Opini ini bukan hanya ajakan moral, tetapi seruan logis demi menjaga masa depan bangsa. Indonesia tidak akan pernah bebas dari ancaman bencana ekologis jika tutupan hutan terus menurun dari tahun ke tahun. Polhut telah menunjukkan dedikasi, keberanian, dan komitmen. Kini saatnya negara memberikan dukungan maksimal. Beberapa langkah yang perlu segera dilakukan antara lain:

Penguatan jumlah personel Polhut di seluruh kawasan rawan deforestasi. Pemodernan alat patroli, penambahan drone, sistem kamera trap, dan teknologi pemetaan berbasis geospasial.
Percepatan penindakan hukum terhadap perambah, pembalak, dan pengalih fungsi lahan ilegal. Kolaborasi intensif dengan masyarakat adat, kelompok tani hutan, dan program perhutanan sosial. Integrasi penuh peran Polhut dengan roadmap FOLU Net Sink 2030 dan strategi REDD+ nasional.

Hutan Indonesia bukan sekadar bentang alam; ia adalah penjaga udara, air, iklim, pangan, dan masa depan generasi mendatang. Polhut berdiri sebagai penjaga terakhir dari aset ekologis tersebut.

Belajar dari tragedi banjir bandang di Sumatra, kita diingatkan bahwa hutan yang rusak selalu membalas dengan bencana. Sebaliknya, hutan yang terjaga selalu membalas dengan kehidupan.

Dengan memperkuat peran Polhut, mendukung FOLU Net Sink 2030, menurunkan emisi REDD+, serta menghentikan kerusakan hutan, kita sedang menjaga keberlanjutan Indonesia—hari ini dan untuk masa depan.

Penulis Oleh : Supriyanto S. Hut
**Penulis merupakan Pemerhati Lingkungan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama